Tips Absurd Jakarta adalah seri tulisan yang berisikan tips-tips umum sehari-hari di sebuah kota, yang rupanya tidak benar-benar berlaku di Jakarta. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan anjuran-anjuran berikut, hanya saja... Jakarta keras, bung!
Dengan jumlah kendaraan lebih dari 10 juta, tak ayal lagi untuk dapat berkendara di jalanan Jakarta dengan aman, apalagi nyaman, bukanlah perkara mudah.
Masalahnya, selain jumlah kendaraan yang membludak, jalanan Jakarta, mengutip kolumnis Goenawan Mohamad, adalah “arena pergulatan tanpa marka”, yang sering kali juga tanpa makna. Ibarat hutan, hukum yang berlaku di jalanan Jakarta adalah hukum rimba.
Tetapi, siapa yang sebenarnya berkuasa di hutan itu? Tidak pernah jelas.
Apakah polisi yang berwenang menghukum pengendara yang melanggar? Atau pengemudi mobil berplat merah atau berhuruf depan “RI”? Atau pengendara motor yang gesitnya bukan main?
Ataukah sopir angkutan kota yang beringas dan boleh berhenti sesuka hati; pemuda-pemuda organisasi masyarakat berkopiah (bukan helm); anggota geng motor yang bernyawa tujuh; koboi-koboi pembawa pistol; dan lain-lain yang tidak akan habis disebutkan satu-persatu?
Berkendara di Jakarta adalah sebuah petualangan yang tidak bisa ditebak dan tidak bisa dirumuskan. Berikut ini adalah anjuran normatif dalam mengendarai kendaraan bermotor di Jakarta, yang jangan harap bisa mempan:
1. Beri tanda lampu sen ketika hendak menyalip kendaraan lain.
Lampu sen, selain untuk belok, digunakan untuk memberi tanda pada kendaraan lain bahwa Anda akan berpindah lajur. Menyalakan lampu sen ketika hendak menyalip ibarat mengucapkan, “Permisi, saya mau lewat,” dengan sopan, ketimbang tidak memberi tanda sama sekali.
Tetapi, di Jakarta, kesopanan hanya terjadi ketika Anda bertatap muka, bukan di balik lindungan kapsul besi. Seketika Anda memberikan tanda lampu sen, sekejap kendaraan yang ingin Anda salip akan mempercepat lajunya. Begitu juga kendaraan di belakang kendaraan tersebut akan segera memepetkan kendaraannya agar tidak memberikan Anda cukup celah untuk menyalip.
Waktu adalah barang berharga di Jakarta, dan para pengemudi di kota ini tidak ingin kehilangan sekian detik hanya karena memberikan Anda jalan.
2. Patuhi lampu lalu-lintas: “hijau” berarti jalan, “kuning” berarti hati-hati, “merah” berarti berhenti.
Warna lampu lalu-lintas di Jakarta rasanya perlu ditelaah kembali lewat ilmu semiotika. Setiap warnanya telah memiliki makna berlapis, apalagi setelah muncul lampu yang dilengkapi hitungan mundur.
Lampu hijau berarti jalan, tapi hati-hati dengan tetangga yang suka menerobos dalam kesempitan. Lampu kuning, juga lampu hijau di detik-detik akhir, berarti tancap gas secepat mungkin selagi belum berganti.
Lampu merah berarti berhenti, tetapi boleh jalan, asal tidak menabrak jika tidak mau dilabrak. Sementara lampu merah di detik-detik akhir berarti saatnya membunyikan klakson untuk memberi tanda pada pengendara motor — yang selalu jadi garda terdepan, melebihi garis batas lampu lalu-lintas — untuk siap memacu kendaraan.
Adapun makna denotatif dari lampu lalu-lintas, hanya akan benar-benar terwujud ketika ada polisi yang mengatur.
3. Cek kondisi ban secara teratur.
Boleh saja Anda rutin mengecek kondisi ban, tetapi juga jangan terlalu berharap ban kendaraan Anda tidak kempes di jalan, mengingat ranjau paku ada di mana-mana. Teman saya yang membawa sepeda motor bercerita, kalau sedang apes dia bisa kena ranjau dua kali dalam seminggu.
Dari hasil razia pembersihan paku di jalanan, terkumpul hingga 300 kg paku dalam empat bulan. Walau begitu, Anda tidak perlu cemas apabila ban Anda kempes di jalan, karena tukang tambal ban selalu berada tidak jauh dari tempat kejadian perkara.
4. Jangan mengebut.
Mengebut jelas berbahaya, bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Tetapi di Jakarta, pengendara kendaraan sering kali bukannya tidak berhasrat mengebut, tetapi memang tidak bisa. Kecuali Anda di jalan tol, kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta di jam-jam sibuk hanya 20-30 kilometer per jam, sementara Jakarta sibuk hampir sepanjang hari.
Seorang blogger pernah mengukur enam perjalanan rutinnya menggunakan sepeda motor di jam-jam berbeda. Kecepatan rata-rata yang ia dapatkan adalah 22 kilometer per jam.
Keadaan ini akan semakin parah, mengingat kendaraan di Jakarta bertambah seribu setiap hari. Ramalan Komisaris Besar Royke Lumowa, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, bahwa Jakarta akan macet total di tahun 2014, semakin nyata.
5. Jangan menggunakan telepon genggam ketika menyetir.
Menyetir sambil menggunakan telepon genggam adalah salah satu biang keladi kecelakaan. Menyetir kendaraan membutuhkan konsentrasi tinggi, selain untuk mengendalikan kendaraan, juga untuk melihat kondisi jalan di depan dan belakang.
Tetapi, kalau Anda perlu menghabiskan berjam-jam di jalan hanya untuk menempuh jarak yang tidak sampai 30 kilometer, jika Anda terjebak macet hingga Anda kalah cepat dengan orang yang berjalan kaki, siapa yang tidak gatal membalas pesan atau mengangkat telepon?
6. Jangan langsung belok kiri jika tidak ada rambu yang memperbolehkan.
Anda tidak salah jika mematuhi aturan tidak boleh belok kiri langsung, tetapi bersiaplah untuk diklakson oleh kendaraan-kendaraan di belakang.
Saya pernah melihat kejadian yang lucu terkait hal ini. Di perempatan jalan, ada seorang pengemudi yang berada paling depan, lajur paling kiri. Ia hendak belok kiri, sementara lampu lalu-lintas saat itu menyala merah. Ketika ia berhenti, kendaraan-kendaraan di belakangnya membunyikan klakson agar pengemudi itu segera belok kiri langsung.
Karena tidak tahan diklakson terus, si pengemudi itu pun memutuskan untuk belok kiri langsung. Tetapi, malang baginya, ternyata ada polisi menanti. Ia akhirnya kena tilang.
7. Sepeda motor menyalakan lampu di siang hari.
Tahun lalu, polisi di Jakarta kembali mengharuskan pengendara motor untuk menyalakan lampu di siang hari, sebagaimana perintah UU Lalu Lintas tahun 2009.
Sebenarnya banyak sisi positif aturan ini, terutama dalam menurunkan jumlah kecelakaan. Cahaya lampu di motor memudahkan pengemudi untuk lebih mawas ketika ada motor di belakangnya.
Walaupun begitu, masih banyak pengendara motor yang menganggap aturan ini tidak masuk akal. Aturan ini kemudian menjadi absurd karena dipatuhi hanya sekadar supaya tidak kena tilang. Dan banyak orang sering menggunakan alasan pemanasan global untuk tidak menyalakan lampu di siang hari.
8. Jangan masuk jalur busway.
Di tengah kemacetan, jalur busway yang lengang selalu tampak menggoda.
Anda memiliki janji bertemu seseorang penting, tetapi terjebak macet. Sementara kendaraan Anda harus terjebak di tengah kendaraan-kendaraan lain, Anda melihat jalur busway yang kosong melompong. Tetapi, Anda pengemudi yang baik. Anda putuskan untuk tidak tergoda menyelonong ke jalur busway.
Tiba-tiba mobil berplat merah melintas lancar di jalur busway, diawali motor polisi yang mengeluarkan suara lantang. Apakah Anda tidak ingin melempari mobil berplat merah itu dengan batu?
Rabu, 19 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar