“Aaaargghh...aaarghhhh!” jerit fotografer Reynold Sumayku sambil merunduk dan menutupi muka dengan kedua lengannya. “Cepat, kita pergi dari sini!” Dia menepis seekor kelelawar yang nyaris melabrak kepalanya.
Sementara itu kawanan kelelawar lainnya terbang berhamburan. Tampaknya kedatangan kami mengejutkan satwa penghuni salah satu pintu dalam sistem Gua Silabe di Padangbindu, Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan.
Saya dan Reynold kemudian meniti jalan setapak dan membelah semak hingga menemukan sebuah mulut Gua Silabe lain yang lebih besar. Di serambinya mengalir Sungai Semuhun yang menembus bebatuan lalu bermuara di Sungai Ogan. Suasananya sangat nyaman, tanpa bau kotoran kelelawar.
Kami sepakat, tampaknya gua ini layak sebagai hunian lantaran cukup mendapatkan sinar matahari dan air yang melimpah. Untuk beberapa waktu kami merintang lelah sembari menikmati keindahan dinding gua di tubir sungai.
Pada masa prasejarah gua dan ceruk diperbukitan karst di Indonesia terbukti telah dimanfaatkan manusia untuk hunian. Pusat Arkeologi Nasional dan Institut de recherche pour le développement (IRD) pada 2000-2005 melakukan survei dan penelitian bersama terhadap gua-gua hunian di perbukitan karst kawasan Padangbindu.
Hasilnya, di salah satu pintu sistem Gua Silabe mereka menemukan tinggalan para penghuni awal Sumatra yang berkaitan dengan cara bertahan hidup, peranti, dan sistem permakaman yang diduga berasal dari sekitar 5.000 tahun silam.
Namun, kabar yang paling mengguncang kawasan Nusantara baru ditemukan di Gua Harimau pada 2009. Gua itu terletak di Bukit Karangsialang, sekitar dua kilometer dari Gua Silabe. Serambi gua yang luas dan megah itu telah mengekalkan gambar cadas dan kompleks permakaman prasejarah yang terpadat dan terlangka di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Tujuan utama kami menjelajahi perbukitan karst ini adalah untuk menemui Truman Simanjuntak dan timnya dari Pusat Arkeologi Nasional yang tengah melacak jejak-jejak hunian prasejarah di Gua Harimau. Gambar cadas di dinding gua itu ternyata merupakan penemuan gambar cadas pertama di Sumatra.
“Selama ini kita dengan beraninya berkata Sumatra tidak pernah tersentuh budaya gambar cadas,” ungkapnya. “Tetapi itulah ilmu, kalau tidak ada perkembangan berakhirlah sudah.”
Sementara hingga Desember 2012, timnya telah mengidentifiaksi kubur prasejarah dengan 66 rangka manusia dalam cakupan luas ekskavasi sekitar setengah lapangan bulu tangkis. Temuannya cukup melimpah, mulai rangka manusia, peralatan serpih, tembikar, hingga tinggalan peradaban logam.
Berdasarkan temuan itu Truman menduga bahwa “mereka menghuni gua itu dan juga menguburkan yang meninggal di dalam gua” pada sekitar 3.000 tahun silam.
“Gua ini sungguh menjanjikan,” ungkap Truman, “karena selama ini Sumatra mengalami kekosongan hunian sebelum 12.000 tahun yang lalu.”
Apakah Sumatra benar-benar pulau tak berpenghuni pada 60.000 hingga 12.000 tahun silam? Itu adalah pertanyaan besar yang selalu berkecamuk di benak Truman.
“Target utama saya adalah menemukan hunian akhir Pleistosen,” ujar Truman. “Kalau kita bisa menemukan hunian puluhan ribu tahun yang lalu itu lebih menarik.”
Sementara itu Pindi Setiawan memberikan pemaparan soal hubungan gambar cadas dan aspek keruangan Gua Harimau terhadap lingkungan sekitar. Pindi merupakan ahli gambar cadas dari Institut Teknologi Bandung yang menjadi bagian tim Pusat Arkeologi Nasional.
Menurutnya, gambar cadas yang terdapat di dua galeri gua ini mempunyai makna sangat penting dalam sejarah ke-Nusantara-an. Tampaknya gambar-gambar itu terkait dengan suatu kejadian sakral pada masyarakat yang tak hanya berburu-meramu, melainkan juga bertani, dan telah mengenal pertukaran barang.
“Ketika gambar cadas itu dibuat,” ujar Pindi, “kemungkinan gua bukan sebagai hunian utama, melainkan sebagai suatu tempat yang sakral bagi masyarakatnya.”
“Gua harimau sepertinya berfungsi sebagai peribadatan” ujarnya. “Ada indikasi kuat.” Pertimbangannya adalah gua ini memiliki panorama yang bagus, terlihat dari jauh lantaran berciri dinding putih, berkesan bersih, dan dekat sumber air. “Itu berulang di seluruh Indonesia,” kata Pindi, “bahwa gua-gua yang digunakan sebagai tempat upacara sakral mempunyai ciri khas seperti itu.”
Akankah Truman dan timnya berhasil membuka tabir hunian prasejarah di Gua Harimau? Apakah serangkaian gambar cadas dan permakaman di gua itu saling berkaitan?
National Geographic Indonesia pada awal tahun 2013 menyajikan edisi spesial "Mengapa Kita Menjelajah" untuk menyambut perayaan 125 tahun lahirnya National Geographic Society. Kisah temuan arkeologi di Gua Harimau menjadi salah satu bagian dalam edisi tersebut. Simak kisah lengkap penelusuran kami tentang siapa sejatinya penghuni prasejarah gua itu di National Geographic Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar